BAB
I
PENDAHULUAN
Produksi sapi potong selama tahun 2005, hingga tahun 2009
meningkat sekitar 4,4% per tahun, namun belum mampu memenuhi kebutuhan daging
sapi. Selain itu penyediaan daging sapi tahun 2005-2009 pun mengalami
peningkatan tetapi belum mampu memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri.
Sebanyak 40% daging sapi masih dipenuhi dari impor (Ditjen Peternakan, 2009).
Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel
1. Penyediaan daging sapi
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
|
Populasi
sapi (juta ekor)
|
10,7
|
10,9
|
11,5
|
11,8
|
12,0
|
Penyediaan
daging sapi local
(ribu
ekor)
|
217,0
|
260,0
|
260,0
|
183,0
|
264,0
|
Penyediaan
daging ex; sapi
bakalan
impor (ribu ekor)
|
55,1
|
57,1
|
89,1
|
97,6
|
58,1
|
Total
penyediaan daging sapi
(ribu
ton)
|
272,1
|
317,1
|
272,1
|
313,6
|
322,1
|
Faktor penghambat yang diduga sebagai penyebab rendahnya produktivitas
ternak di Indonesia adalah manajemen pemeliharaan yang belum optimal, yang
ditandai dengan sistem pemeliharaan bersifat ekstensif (tradisional), usaha
sambilan (non agribusiness oriented) dan tidak memperhatikan
input produksi. Selain itu, system pemuliaan dan seleksi yang tidak terarah
sehingga mengakibatkan kinerja ternak sangat beragam. Hal lainnya adalah
pencapaian kecukupan daging sapi masih masih mengandalkan anggaran pemerintah
dan belum melibatkan peran swasta dan masyarakat; rendahnya produktivitas sapi
akibat jarak beranak 21 bulan dan kelahiran 21 %; dan belum berkembangnya
usaha/industri perbibitan sapi (Ditjen Peternakan, 2009). Untuk mengatasi
permasalahan tersebut dapat dilakukan melalui penerapan teknologi inseminasi
buatan (IB). Teknologi ini digunakan untuk peningkatan produksi dan perbaikan
mutu genetik ternak serta sebagai alat dalam pelaksanaan kebijakan pemuliaan
secara nasional.
IB diterapkan di Indonesia sejak tahun 1953 pada ternak sapi
perah, kemudian pada sapi potong dan kerbau. Walaupun hasilnya sampai saat ini
sudah dirasakan oleh masyarakat yang ditandai dengan tingginya harga jual dari
ternak hasil IB, namun demikian pelaksanaannya di lapangan belum optimal
sehingga hasilnya (tingkat kelahiran) dari tahun ke tahun berfluktuasi. Tingkat
kelahiran hasil IB pada sapi potong dan kerbau berfluktuasi setiap tahunnya.
Untuk menghindari timbulnya pro dan kontra di kalangan
masyarakat mengenai penerapan IB pada ternak, maka makalah ini akan menguraikan
tentang peranan teknologi IB dalam pembinaan produksi peternakan ditinjau dari
aspek salah satu filsafat, yaitu bioetika.
BAB
II
PEMBAHASAN
A . PENGETIAN IB
IB adalah proses memasukkan sperma ke dalam saluran
reproduksi betina dengan tujuan untuk membuat betina jadi bunting tanpa perlu
terjadi perkawinan alami. Konsep dasar dari teknologi ini adalah bahwa seekor
pejantan secara alamiah memproduksi puluhan milyar sel kelamin jantan
(spermatozoa) per hari, sedangkan untuk membuahi satu sel telur (oosit) pada
hewan betina diperlukan hanya satu spermatozoon. Potensi terpendam yang
dimiliki seekor pejantan sebagai sumber informasi genetik, apalagi yang unggul
dapat dimanfaatkan secara efisien untuk membuahi banyak betina (Hafez, 1993).
Namun dalam perkembangan lebih lanjut, program IB tidak
hanya mencakup pemasukan semen ke dalam saluran reproduksi betina,
tetapi juga menyangkut seleksi dan pemeliharaan pejantan, penampungan,
penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan)
dan pengangkutan semen, inseminasi, pencatatan dan penentuan hasil
inseminasi pada hewan/ternak betina, bimbingan dan penyuluhan pada peternak.
Dengan demikian pengertian IB menjadi lebih luas yang mencakup aspek reproduksi
dan pemuliaan, sehingga istilahnya menjadi artificial breeding (perkawinan
buatan). Tujuan dari IB itu sendiri adalah sebagai satu alat yang ampuh yang
diciptakan manusia untuk meningkatkan populasi dan produksi ternak secara
kuantitatif dan kualitatif (Toelihere, 1985).
B. SEJARAH IB
IB pada hewan peliharaan telah lama dilak sedangkan ukan sejak berabad-abad
yang lampau. Seorang pangeran arab yang sedang berperang pada abad ke-14 dan
dalam keadaan tersebut kuda tunggangannya sedang mengalami birahi. Kemudian
dengan akar cerdiknya, sang pangeran dengan menggunakan suatu tampon kapas,
sang pangeran mencuri semen dalam vagina seekor kuda musuhnya yang baru saja
dikawinkan dengan pejantan yang dikenal cepat larinya.Tampon tersebut kemudian
dimasukan ke dalam vagina kuda betinanya sendiri yang sedang birahi. Alhasil
ternyata kuda betina tersebut menjadi bunting dan lahirlah kuda baru yang
dikenal tampan dan cepat larinya. Inilah kisa awal tentang IB, dan setelah itu
tidak lagi ditemukan catatan mengenai pelaksanaan IB atau penelitian ke arah
pengunaan teknik tersebut.
Penelitian ilmiah pertama dalam bidang inseminasi buatan
pada hewan piarann dialkukan oleh ahli fisiologi dan anatomi terkenal Italia,
yaitu Lazzaro Spallanzani pada tahun 1780. Dia berhasil menginseminasi
amphibia, yang kemudian memutuskan untuk melakukan percobaan pada anjing.
Anjing yang dipelihara di rumahnya setelah muncul tanda-tanda birahi dilakukan
inseminasi dengan semen yang dideposisikan langsung ke dalam uterus dengan
sebuah spuit lancip. Enam puluh hari setelah inseminasi, induk anjing tersebut
melahirkan anak tiga yang kesemuanya mirip dengan induk dan jantan yang dipakai
semennya. Dua tahun kemudian (1782) penelitian spallanzani tersebut diulangi
oleh P. Rossi dengan hasil yang memuaskan. Semua percobaan ini membuktikan bahwa
kebuntingan dapat terjadi dengan mengunakan inseminasi dan menghasilkan
keturunan normal.
Spallanzani juga membuktikan bahwa daya membuahi semen
terletak pada spermatozoa, bukan pada cairan semen. Dia membuktikannya dengan
menyaring semen yang baru ditampung. Cairan yang tertinggal di atas filter
mempunyai daya fertilisasi tinggi. Peneliti yang sama pada tahun 1803,
menyumbangkan pengetahuannya mengenai pengaruh pendinginan terhadap
perpanjangan hidup spermatozoa. Dia mengamati bahwa semen kuda yang dibekukan
dalam salju atau hawa dimusim dingin tidak selamanya membunuh spermatozoatozoa
tetapi mempertahankannya dalam keadaaan tidak bergerak sampai dikenai panas dan
setelah itu tetap bergerak selama tujuh setengah jam. Hasil penemuannya
mengilhami peneliti lain untuk lebih mengadakan penelitian yang mendalam
terhadap sel-sel kelamin dan fisiologi pembuahan. Dengan jasa yang
ditanamkannya kemudian masyarakat memberikan gelar kehormatan kepada dia
sebagai Bapak Inseminasi.
Perkenalan pertama IB pada peternakan kuda di Eropa,
dilakukan oleh seorang dokter hewan Perancis, Repiquet (1890). Dia menasehatkan
pemakaian teknik tersebut sebagai suatu cara untuk mengatasi kemajiran. Hasil
yang diperoleh masih kurang memuaskan, masih banyak dilakukan penelitian untuk
mengatasinya, salah satu usaha mengatasi kegagalan itu, Prof. Hoffman dari
Stuttgart, Jerman, menganjurkan agar dilakukan IB setelah perkawinan alam.
Caranya vagina kuda yang telah dikawinkan dikuakkan dan dengan spuit diambil
semennya. Semen dicampur dengan susu sapi dan kembali diinsemiasikan pada
uterus hewan tersebut. Namun diakui cara ini kurang praktis untuk dilaksanakan.
Pada tahun 1902, Sand dan Stribold dari Denmark, berhasil memperoleh empat
konsepsi dari delapan kuda betina yang di IB. Mereka menganjurkan IB sebagai
suatu cara yang ekonomis dalam pengunaan dan penyebaran semen dari kuda jantan
yang berharga dan memajukan peternakan pada umumnya.
Kemajuan pesat dibidang IB, sangat dipercepat dengan adanya
penemuan teknologi pembekuan semen sapi yang disponsori oleh C. Polge, A.U.
Smith dan A.S. Parkes dari Inggris pada tahun 1949. Mereka berhasil menyimpan
semen untuk waktu panjang dengan membekukan sampai -79 0C dengan mengunakan CO2
pada (dry ice) sebagai pembeku dan gliserol sebagai pengawet. Pembekuan
ini disempurnakan lagi, dengan dipergunakannya nitrogen cair sebagai bahan
pembeku, yang menghasilkan daya simpan yang lebih lama dan lebih praktis,
dengan suhu penyimpanan -169 0C.
Inseminasi Buatan pertama kali diperkenalkan di Indonesia
pada awal tahun 1950-an oleh Prof. B. Seit dari Denmark di Fakultas Hewan dan
Lembaga Penelitian Peternakan Bogor. Dalam rangka rencana kesejahteraan
istimewa (RKI) didirikanlah beberpa satsiun IB di beberapa daerah di jawa
Tengah (Ungaran dan Mirit/Kedu Selatan), Jawa Timur (Pakong dan Grati), Jawa
Barat (Cikole/Sukabumi) dan Bali (Baturati). Juga FKH dan LPP Bogor,
difungsikan sebagai stasiun IB untuk melayani daerah Bogor dan sekitarnya,
Aktivitas dan pelayanan IB waktu itu bersifat hilang, timbul sehingga dapat
mengurangi kepercayaan masyarakat.
Kekurang berhasilan program IB antara tahun 1960-1970,
banyak disebabkan karena semen yang digunakan semen cair, dengan masa simpan
terbatas dan perlu adanya alat simpan sehingga sangat sulit pelaksanaanya di
lapangan. Disamping itu kondisi perekonomian saat itu sangat kritis sehingga
pembangunan bidang peternakan kurang dapat perhatian.
Dengan adanya program pemerintah yang berupa Rencana
Pembangunan Lima Tahun yang dimulai tahun 1969, maka bidang peternakan pun ikut
dibangun. Tersedianya dana dan fasilitas pemerintah akan sangat menunjang
peternakan di Indonesia, termasuk program IB. Pada awal tahun 1973 pemerintah
measukan semen beku ke Indonesia. Dengan adanya semen beku inilah perkembangan
IB mulai maju dengan pesat, sehingga hampir menjangkau seluruh provinsi di
Indonesia.
Semen beku yang digunakan selama ini merupakan pemberian
gratis pemerintah Inggris dan Selandia Baru. Selanjutnya pada tahun 1976
pemerintah Selandia Baru membantu mendirikan Balai Inseminasi Buatan, dengan
spesialisasi memproduksi semen beku yang terletak di daerah Lembang Jawa Barat.
Setahun kemudian didirikan pula pabrik semen beku kedua yakni di Wonocolo
Suranaya yang perkembangan berikutnya dipindahkan ke Singosari Malang Jawa
Timur.
Hasil evaluasi pelaksanaan IB di Jawa, tahun 1972-1974
menunjukkan angka konsepsi yang dicapai selama dua tahun tersebut sangat rendah
yaitu antara 21,3 – 38,92 persen. Dari survei ini disimpulkan juga bahwa titik
lemah pelaksaan IB, tidak terletak pada kualitas semen, tidak pula pada
keterampilan inseminator, melainkan sebagian besar terletak pada ketidak
suburan ternak-ternak betina itu sendiri. Ketidak suburan ini banyak disebabkan
oleh kekurangan pakan, kelainan fisiologi anatomi dan kelainan patologik alat
kelamin betina serta merajalelanya penyakit kelamin menular. Dengan adanya
evaluasi terebut maka perlu pula adanya penyemopurnaan bidang organisasi IB,
perbaikan sarana, intensifikasi dan perhatian aspek pakan, manajemen,
pengendalian penyakit.
C. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IB
Penerapan bioteknologi IB pada ternak ditentukan oleh empat faktor utama, yaitu semen beku, ternak betina sebagai
akseptor IB, keterampilan tenaga pelaksana (inseminator) dan pengetahuan
zooteknis peternak. Keempat faktor ini berhubungan satu dengan yang lain
dan bila salah satu nilainya rendah akan menyebabkan hasil IB juga akan rendah,
dalam pengertian efisiensi produksi dan reproduksi tidak optimal (Toelihere,
1997).
Permasalahan utama dari semen beku adalah rendahnya
kualitas semen setelah dithawing, yang ditandai dengan terjadinya kerusakan
pada ultrastruktur, biokimia dan fungsional spermatozoa yang menyebabkan
terjadi penurunan motilitas dan daya hidup, kerusakan membran plasma dan tudung
akrosom, dan kegagalan transport dan fertilisasi. Ada empat faktor yang diduga sebagai penyebab rendahnya
kualitas semen beku, yaitu (1) perubahan-perubahan intraseluler akibat
pengeluaran air yang bertalian dengan pembentukan kristal-kristal es; (2)
cold-shock (kejutan dingin) terhadap sel yang dibekukan; (3) plasma semen
mengandung egg-yolk coagulating enzyme yang diduga enzim fosfolipase A yang
disekresikan oleh kelenjar bulbourethralis; dan (4) triglycerol lipase yang
juga berasal dari kelenjar bulbourethralis dan disebut SBUIII. Pengaruh yang
ditimbulkan akibat fenomena di atas adalah rendahnya kemampuan fertilisasi
spermatozoa yang ditandai oleh penurunan kemampuan sel spermatozoa untuk
mengontrol aliran Ca 2+ (Bailey dan Buhr, 1994). Padahal ion kalsium memainkan
peranan penting dalam proses kapasitasi dan reaksi akrosom spermatozoa. Kedua
proses ini harus dilewati oleh spermatozoa selama dalam saluran reproduksi
betina sebelum membuahi ovum.
Permasalahan pada kambing betina (akseptor IB) dalam
kaitannya dengan kinerja reproduksi adalah: (1) variasi dalam siklus berahi dan
lama berahi, (2) variasi dalam selang beranak (kidding interval) yang berkaitan
dengan involusi uterus; dan (3) gejala pseudopregnancy (kebuntingan semu).
Faktor terpenting dalam pelaksanaan inseminasi adalah
ketepatan waktu pemasukan semen pada puncak kesuburan ternak betina. Puncak
kesuburan ternak betina adalah pada waktu menjelang ovulasi. Waktu terjadinya
ovulasi selalu terkait dengan periode berahi. Pada umumnya ovulasi berlangsung
sesudah akhir periode berahi. Ovulasi pada ternak sapi terjadi 15-18 jam
sesudah akhir berahi atau 35-45 jam sesudah munculnya gejala berahi. Sebelum
dapat membuahi sel telur yang dikeluarkan sewaktu ovulasi, spermatozoa
membutuhkan waktu kapasitasi untuk menyiapkan pengeluaran enzimenzim zona
pelucida dan masuk menyatu dengan ovum menjadi embrio (Hafez, 1993). Waktu
kapasitasi pada sapi, yaitu 5-6 jam (Bearden dan Fuqual, 1997). Oleh sebab itu,
peternak dan petugas lapangan harus mutlak mengetahui dan memahami kapan gejala
birahi ternak terjadi sehingga tidak ada keterlambatan IB. Kegagalan IB menjadi
penyebab membengkaknya biaya yang harus dikeluarkan peternak.
Apabila semua faktor di atas diperhatikan diharapkan bahwa
hasil IB akan lebih tinggi atau hasilnya lebih baik dibandingkan dengan
perkawinan alam (Tambing, 2000). Hal ini berarti dengan tingginya hasil IB
diharapkan efisiensi produktivitas akan tinggi pula, yang ditandai dengan
meningkatnya populasi ternak dan disertai dengan terjadinya perbaikan kualitas
genetik ternak, karena semen yang dipakai berasal dari pejantan unggul
yang terseleksi. Dengan demikian peranan bioteknologi IB terhadap pembinaan
produksi peternakan akan tercapai.
D. MANFAAT PENERAPAN IB
Manfaat penerapan bioteknologi IB pada ternak (Hafez, 1993)
adalah sebagai
berikut :
1. Menghemat biaya pemeliharaan ternak
jantan;
2. Dapat mengatur jarak kelahiran
ternak dengan baik;
3. Mencegah terjadinya kawin sedarah
pada sapi betina (inbreeding);
4. Dengan peralatan dan teknologi yang
baik spermatozoa dapat simpan dalam jangka waktu yang lama;
5. Semen beku masih dapat dipakai untuk
beberapa tahun kemudian walaupun pejantan
telah mati.
6. Menghindari kecelakaan yang sering
terjadi pada saat perkawinan karena fisik
pejantan terlalu besar;
7. Menghindari ternak dari penularan
penyakit terutama penyakit yang ditularkan
dengan hubungan kelamin.
E. PENERAPAN IB DITINJAU DARI ASPEK
BIOETIKA
Dalam pandangan bioetika, penerapan bioteknologi
reproduksi IB berhubungan erat dengan aspek kesehatan dan penyelamatan dari
kepunahan ternak asli (animalwelfare). Problem utama dalam sistem animal
welfare dalam kaitannya dengan penerapan bioteknologi adalah efisiensi
produksi. Problem ini berkaitan erat pula dengan beberapa faktor, diantaranya
(1) ekspresi gen (pertumbuhan yang cepat atau produksi susu tinggi), (2) teknik
perkawinan, dan (3) mutasi gen (Christiansen dan Sandoe, 2000). Dampak negatif
yang akan timbul apabila penerapan bioteknologi IB tidak terkontrol dalam
kaitannya dengan animal welfare, seperti :
a)
Hilangnya/punahnya ternak lokal
akibat terkikis oleh munculnya ternak persilangan (crossbred animal).
Hal ini bisa muncul karena persepsi masyarakat (petani/peternak) yang lebih
menyukai ternak persilangan karena pertumbuhannya lebih cepat dan dampak
akhirnya adalah nilai jual yang tinggi.
b)
Dapat menyebabkan stress dan
menimbulkan resiko pada animal welfare. Pemilihan pejantan sebagai
sumber semen yang tidak tepat (kemungkinan mengandung gen lethal)
akan menimbulkan beberapa dampak negatif, antara lain masa kebuntingan lebih
panjang, meningkatnya kejadian kesulitan melahirkan (distokia) dan tingginya
frekuensi gen anomali dan anak yang dilahirkan memiliki bobot lahir yang
melebihi ukuran normal dan penurunan daya reproduksi.
c)
Apabila identifikasi birahi (estrus)
dan waktu pelaksanaan IB tidak tepat maka tidak akan terjadi terjadi
kebuntingan;
d)
Akan terjadi kesulitan kelahiran
(distokia), apabila semen beku yang digunakan berasal dari pejantan dengan
breed / turunan yang besar dan diinseminasikan pada sapi betina keturunan /
breed kecil;
e)
Bisa terjadi kawin sedarah (inbreeding)
apabila menggunakan semen beku dari pejantan yang sama dalam jangka waktu yang
lama;
f)
Dapat menyebabkan menurunnya
sifat-sifat genetik yang jelek apabila pejantan donor tidak dipantau sifat
genetiknya dengan baik (tidak melalui suatu progeny test).
g)
Apabila identifikasi birahi (estrus)
dan waktu pelaksanaan IB tidak tepat maka tidak akan terjadi terjadi
kebuntingan;
h)
Akan terjadi kesulitan kelahiran
(distokia), apabila semen beku yang digunakan berasal dari pejantan dengan
breed / turunan yang besar dan diinseminasikan pada sapi betina keturunan /
breed kecil;
i)
Bisa terjadi kawin sedarah (inbreeding)
apabila menggunakan semen beku dari pejantan yang sama dalam jangka waktu yang
lama;
j)
Dapat menyebabkan menurunnya
sifat-sifat genetik yang jelek apabila pejantan donor tidak dipantau sifat
genetiknya dengan baik (tidak melalui suatu progeny test).
k)
Hilangnya keanekaragaman akibat
dipertahankan alel yang sama pada populasi ( hilangnya gen), sehingga rentan
terhadap penyakit bila alel resisten hilang.
Namun demikian dampak negatif tersebut dapat ditanggulangi
melalui upaya konservasi in-situ dimana petani/peternak ikut serta di
dalamnya. Program konservasi insitu yang telah dilakukan pada ternak
lokal antara lain : (1) mengisolasi bangsa ternak lokal dalam suatu lokasi
tertutup dan dilakukan upaya pemurniannya, (2) mendatangkan pejantan unggul
yang sejenis dengan bangsa ternak lokal tersebut untuk dilakukan program
perkawinan dengan ternak lokal yang telah diisolasi, (3) melakukan program
pemuliaan dan seleksi dengan ketat, dan (4) mengaplikasikan program IB dengan
menggunakan semen yang berasal dari pejantan unggul. Hal yang terpenting
adalah upaya dari petugas dan petani dalam mencatat (recording)
identitas semen induk dan turunannya, serta adanya bank sperma yang untuk semua
ternak lokal atau non local sehingga tidak terjadi kemusnahan.
F. KESIMPULAN
Ditinjau dari aspek bioetika, penerapan bioteknologi
IB (Inseminasi Buatan) mampu mencegah terhadap hilangnya atau punahnya
ternak-ternak lokal (animal welfare) dan meningkatkan produktivitas
ternak bila dikelola dengan baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Bailey, J.L and M.M Burh. 1994. Cryopreservation alters the
Ca2+ flux of bovine spermatozoa. Can. J. Anim. Sci. 74: 45-51.
Beaden, H.J. and J.W. Fuqual. 1997. Applied Animal Reproduction. Reston
Publishing Co., Inc. Prentice Hall Co. Reston Virginia.
Christiansen, S.B. and P. Sandøe. 2000. Bioethics : limits to the interference
with life. Anim. Reprod. Sci, 60-61 :
15-29.
Ditjen Peternakan. 2009. Renstra Kecukupan Daging Sapi Tahun 2010-2-14. Semnas
Pengembangan Ternak Potong untuk
Mewujudkan Program Kecukupan/ Swasembada Daging, Fafet UGM. Yogyakarta.
Hafez, E.S.E. 1993. Artificial insemination. In: HAFEZ, E.S.E. 1993.
Reproduction in Farm Animals. 6 th Ed. Lea
& Febiger, Philadelphia. pp. 424-439.
Senger, PL. 2003. Artificial insemination technique in the cow.Pathways to
Pregnancy and
Parturition. Page 274.
Toelihere, M.R. 1985. Inseminasi Buatan pada Ternak. Edisi ke-2. Angkasa,
Bandung. 292 hal.
Toelihere, M.R. 1997. Peranan Bioteknologi Reproduksi Dalam Pembinaan Produksi
Peternakan di Indonesia. Disampaikan
pada Pertemuan Teknis dan Koordinasi Produksi (PERTEKSI) Peternak Nasional T.A.
1997/1998, Ditjennak di Cisarua-Bogor 4-6 Agustus 1997.